09/06/2021 15:22:06
Info Kesehatan

Mengasah Kecerdasan Emosi Anak Sejak Dini

Foto: Ilustrasi/Internet

Anak-anak pun memiliki beragam emosi. Selain itu, anak-anak juga bisa memiliki karakteristik khas yang dapat membedakannya dengan teman sebaya mereka. Nah, sebagai orang tua, tentunya Anda perlu mengenali perasaan anak agar dapat membantu mengasah kecerdasan emosional mereka. Seperti apa?

Kemampuan anak-anak untuk bereaksi secara emosional sebenarnya sudah ada sejak bayi baru lahir. Reaksi ini bisa ditunjukkan dengan menangis, tersenyum, dan frustasi. Bahkan beberapa peneliti meyakini bahwa beberapa pekan setelah lahir, bayi dapat memperlihatkan bermacam-macam ekspresi dari semua emosi dasar, termasuk kebahagiaan, perhatian, keheranan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan kebosanan sesuai dengan situasinya.

“Anak-anak biasanya belum memiliki ‘vocabulary’ untuk mengemukakan perasaan mereka, sehingga mereka mengomunikasikan perasaan dengan cara-cara lain,” jelas dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K), Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Konsultan Psikiatri Anak & Remaja RS Pondok Indah–Bintaro Jaya, seperti dilansir dari Kompas.com.

Menurut dr. Anggia, para orang tua perlu menyadari bahwa anak-anak terkadang dapat mengekspresikan perasaan mereka melalui perilaku yang tidak tepat dan menimbulkan masalah. Setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia 2-6 tahun, anak-anak pra-sekolah pada kenyatannya sudah bisa merasakan cinta dan mempunyai kemampuan untuk menjadi anak yang penuh kasih sayang, dapat merasakan anak lain yang sedang sedih, serta mulai merasa bersimpati, ingin menolong.

Tapi, anak pra-sekolah cenderung baru dapat mengekspresikan satu emosi pada satu waktu. Mereka belum dapat memadukan emosi atau perasaan dari hal-hal yang membingungkan. Menurut dr. Anggia, baru pada tahap usia sekolah (6-12 tahun), kemampuan kognitif anak-anak ini mulai berkembang. Di mana, mereka dapat mengekspresikan emosinya lebih bervariasi dan terkadang dapat mengekspresikan secara bersamaan dua bentuk emosi yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi sebagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara yang sesuai dengan aturan sosial. Sementara, ketika anak berusia 12 tahun ke atas, mereka sudah mampu menganalisis dan mengevaluasi cara mereka merasakan atau memikirkan sesuatu.

Begitu juga terhadap orang lain, anak yang hampir memasuki masa remaja ini, sudah dapat merasakan bentuk empati yang lebih dalam. dr. Anggia menuturkan, perbedaan dalam perkembangan emosi anak ini membutuhkan perhatian khusus agar anak memiliki kemampuan meregulasi atau mengatur emosi mereka dengan tepat.

Cara melatih anak mengatur emosi

Untuk melatih anak agar memiliki kecerdasan emosional yang baik, dr. Anggia menyampaikan, memang memerlukan tahapan dan waktu yang tidak sebentar. Dia memberi saran, berikut ini adalah beberapa langkah pertama yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk membantu anak meregulasi emosinya:

-Kenali emosi atau perasaan orang lain

-Hadir dan dengarkan perasaan anak

-Menanggapi dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak

-Tidak bereaksi negatif saat anak rewel atau marah Be a role model

-Senang bermain dengan anak dan tertarik dengan aktivitas anak

-Ajarkan teknik-teknik relaksasi (emotional toolbox)

Dokter Anggia mewanti-wanti, terkadang anak-anak dapat mengalami emosi negatif, yang terkadang menjadi ledakan emosi. Sebenarnya hal ini dianggap wajar. Namun, ledakan emosi pada anak harus diwaspadai apabila:

-Tantrum dan ledakan (outbursts) terjadi pada tahapan usia perkembangan di mana seharusnya sudah tidak terjadi, yaitu di atas usia 7-8 tahun.

-Perilaku anak sudah membahayakan dirinya atau orang lain.

-Perilaku anak menimbulkan masalah serius di sekolah.

-Perilaku anak memengaruhi kemampuannya bersosialisasi dengan teman, sehingga anak ’’dikucilkan’’ oleh teman-temannya.

-Tantrum dan perilaku anak telah membuat distress atau kesulitan dalam keseharian keluarga.

-Saat anak merasa tidak mampu mengendalikan emosi marahnya dan merasa dirinya ’’buruk’’.

Dokter Anggia menuturkan, berikut ini adalah beberapa faktor penyebab masalah emosi yang dapat terjadi pada anak-anak:

-Attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)

-Kecemasan atau anxiety

-Trauma

-Kesulitan belajar

-Gangguan pemrosesan sensori (sensory processing issues)

-Spektrum autisme

-Sedikit mendapat kasih sayang dari keluarga maupun teman

-Terlalu terikat dengan satu figur yang dominan

Kepercayaan terhadap orang tua dan model figur yang mereka amati dalam keluarga berperan dalam membentuk kepercayaan diri anak. Hal ini dapat membantu anak untuk mengatasi emosinya dan mendorongnya menjadi mandiri, serta berani mengambil risiko.

“Apabila si kecil memiliki karakter ini, maka diharapkan anak dapat berperilaku tepat dalam lingkungan sosialnya dan terhindar dari masalah penyesuaian diri dalam hidupnya,” jelas dr. Anggia. (*)

Redaksi: [email protected]
Informasi Pemasangan Iklan: [email protected]
Info Kesehatan: Mengasah Kecerdasan Emosi Anak Sejak Dini